A. Kompetensi Dasar
Memahami pentingnya persiapan dalam membangun hidupberkeluarga yang bertanggung jawab.
B. Indikator Pencapaian Hasil Belajar
1. Menjelaskan pengertian hidup berkeluarga.
2. Menjelaskan bahwa hidup berkeluarga itu berharga.
3. Mengidentifikasi tantangan dan kesulitan dalam hidup berkeluarga.
4. Menjelaskan syarat hukum untuk sahnya hidup berkeluarga.
5. Menjelaskan pentingnya persiapan hidup berkeluarga.
6. Merencanakan dan melakukan wawancara kepada pasangan suami istri atau studi pustaka mengenai persiapan hidup berkeluarga.
7. Membuat laporan secara tertulis hasil wawancara atau studi pustaka.
C. Landasan Pemikiran
Hidup berkeluarga atau perkawinan bagi orang dewasa merupakan pilihan jalan hidup. Perkawinan adalah persekutuan yang khas antara laki-laki dan perempuan di mana mereka saling mengisi dan menyempurnakan, sehingga mereka dapat menjadi kepala keluarga dan hati keluarga yang penuh demi mencapai kebahagiaan. Tujuan hidup berkeluarga adalah membentuk keluarga yang bahagia, langgeng, dan sejahtera, sehingga mereka perlu untuk saling melengkapi dan membantu pengembangan pribadi masing-masing. Tujuan ini diwujudkan bersama untuk memperoleh keturunan, dengan melakukan hubungan seksual dalam ikatan hukum yang berlaku.
Hidup berkeluarga merupakan satu-satunya lembaga yang memberi hak moral dan hak hukum kepada laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama, berhubungan seksual, dan menurunkan anak sesuai dengan tujuan hidup berkeluarga. Ikatan yang terjadi di luar hiduo berkeluarga tidak dapat memberikan jaminan cinta kasih dan perlindungan bagi semua pihak yang tersangkut dalam pembentukan dan pemeliharaan hidup berkeluarga. Hidup berkeluarga itu sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan seseorang. Orang yang tidak yakin bahwa pernikahan itu sangat berharga, dia tidak akan memperoleh apa-apa dalam menjalani hidup berkeluarga, apalagi banyak masalah yang memprihatinkan terjadi dalam hidup berkeluarga, misalnya hamil sebelum menikah, kawin kontrak, perceraian, dan sebagainya. Di sini, orang diajak untuk menyadari dan memahami makna hidup berkeluarga, tujuan hidup berkeluarga, dan peranan lembaga hidup berkeluarga.
Dalam membangun hidup berkeluarga, ada banyak tantangan dan kesulitan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar keluarga. Kesulitan dari dalam, misalnya egoisme atau cinta diri, ketidakserasian dalam hubungan seksual, perbedaan pandangan atau pendapat, dan sebagainya. Adapun kesulitan dari luar, misalnya pengaruh atau suasana negatif yang mengganggu atau mengaburkan martabat lembaga hidup berkeluarga (pornografis, suasana kawin-cerao, dan sebagainya) dan pengaruh lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan berkeluarga (keadaan ekonomi, kebijaksanaan pemerintah, kondifi demografis, dan sebagainya). Jadi, dalam menjalani kehidupan berkeluarga diperlukan pribadi yang dewasa dan tangguh untuk mnegatasi berbagai tantangan dan kesulitan yang akan timbul.
Hidup berkeluarga harus memenuhi persyaratan yang sah bagi hukum masyarakat, negara, dan agama. Syarat-syarat sahnya hidup berkeluarga, antara lain: hidup berkeluarga dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, serta dicatat menurut peraturan yang berlaku (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Selain itu, hidup berkeluraga menjadi sah kalau suam istri memberikan persetujuannya untuk hidup bersama sebagai suami istri secara bebas dan ikhlas, dinyatakan di hadapan saksi dan pemuka agama dan kepercayaan, mereka tidak menderita impotensi, tidak terlibat dalam tindakan pembunuhan suami atau istri lamanya, tidak mempunyai hubungan darah dalam garis lurus atau menyamping sampai garis keempat, dan sebagainya. Mengingat betapa pentingnya hidup berkeluarga, maka sebelum menikah hendaknya mereka perlu mempersiapkan segalanya dengan matang, baik material maupun spiritual, serta memenuhi syarat-syarat hidup berkeluarga yang ditentukan, misalnya mempunyai pekerjaan, usia telah cukup dewasa, dan kedewasaan emosi serta rohani. Dengan persiapan yang matang mereka diharapkan dapat memperkecil kemungkinan munculnya probem dalam keluarga, agar terwujud keluarga yang harmonis dan sejahtera.
Mengingat sangat berharganya hidup berkeluarga, maka melalui materi pokok ini Anda diajak untuk mengetahui betul makna hiudp berkeluarga dan menyadari pentingnya persiapan dalam membangun hidup berkeluarga agar tercipta keluarga yang bertanggung jawab dan mampu menghindari peristiwa yang mencemarkan martabat perkawinan.
Hidup berkeluarga atau perkawinan bagi orang dewasa merupakan pilihan jalan hidup. Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci antara pasangan suami-istri dan antara mereka dengan Allah. Pasangan suami-istri hendaknya mempersiapkan diri mereka untuk perkawinan dengan doa. Pada saat menjelang perkawinan hendaknya pasangan suami-istri menerima sakramen Tobat. Perkawinan adalah persekutuan yang khas antara laki-laki dan perempuan di mana mereka saling mengisi dan menyempurnakan, sehingga mereka dapat menjadi kepala keluarga dan hati keluraga yang penuh demi mencapai kebahagiaan.
Tujuan hidup berkeluraga adalah membentuk keluarga yang bahagia, langgeng, dan sejahtera, sehingga mereka perlu saling melengkapi dan membantu pengembangan pribadi masing-masing. Tujuan ini diwujudkan bersama untuk memperoleh keturunan, dengan melakukan hubungan seksual dalam ikatan hukum yang satu sama lain, dengan saling memberikan dan mendapatkan pengertian, dengan mengalami perkembangan berkat yang lain. Dengan kata lain, tujuan hidup bersama sebagai suami istri ialah membantu satu sama lain dan membiarkan diri kita dibantu oleh pasangan dalam perjalanan hidup menuju kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat. Di dunia yaitu dengan mengalami diri sebagai orang yang bermanfaat bagi yang lain, dengan memberikan dan mendapatkan pengertian, dengan mengalami perkembangan berkat yang lain. Sedangan di akhriat yaitu dengan bersatu dengan Yang Mahabaik karena menjadi teman hidup yang setia.
Tujuan Perkawinan
Pengeritan tentang perkawingan dan tujuan perkawinan itu bermacam-macam.
a. Pendapat orang dalam masyarakat.
Kalau kita bertanya pada orang- orang, baik yang masih muda dan baru sampai tingkat pacaran, maupun suami istri yang sudah makan garam: Mengapa mereka menikah? Apakah tujuan mereka kawin?
Jawaban mereka dapat beraneka ragam, misalnya supaya tidak sendirian terus, supaya nafsu sex dapat dipuaskan secara wajar, suapaya dapat keturunan, supaya bahagia, dan lain sebagainya.
Singkatnya ada rupa- rupa jawaban yang dapat diajukan, yang kadang- kadang memberi kesan seolah- olah tujuan perkawinan itu kurang dipikirkan dan disadari orang, juga oleh orang- orang yang telah menikah.
b. Undang- undang RI no. 1/1974 Tentang Perkawinan
Dalam undang- undang ditulis tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, tetap dan sejahtera. Untuk itu suami istri perlu saling melengkapi dan mebantu dalam pengembangan kepribadian masing- masing.
c. Pendapat Gereja
Tujuan perkawinan menurut ajaran Gereja yaitu membantu satu sama lain dan membiarkan dibantu oleh partner dalam perjalanan hidup menuju kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat.
D. Narasi
SAPU TANGAN KUNING
Ada pasangan muda yang baru saja memasuki hari-hari bahagia perkawinan mereka. Tetapi sayang, suami muda itu secara tidak sengaja terlibat dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian sebuah keluarga. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa ia begitu teledor menyetir mobilnya, sehingga ia menewaskan sebuah keluarga, suami istri dan seorang anaknya pada hari yang naas itu. Ia merasa begitu bersalah, sehingga ia tidak berusaha untuk membela dirinya di dalam pengadilan perkaranya. Ia sungguh pasrah, juga ketika pengadilan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara. Ia pasrah menerima. Demikian juga ketika hukuman penjaranya dipindahkan ke tempat yang jauh, jauh ke tanah seberang, ia tetap pasrah menerima.
Pada saat berpisah dengan istrinya, dengan rasa duka yangmendalam tetapi ikhlas ia berkata bahwa hukuman penjara 15 tahun adalah rentang waktu yang sangat lama. Oleh sebab itu, ia rela kalau pada suatu waktu istrinya menerima teman hidup yang lain, kalau itu bisa membahagiakan hidupnya. Ia sangat mencintai istrinya. Tetapi cintanya tidak egositis. Ia menghendaki istrinya hidup bahagia, termasuk kalau untuk itu istrinya terpaksa harus menerima pria lain. Walau ia berkata demikian, istrinya hanya diam seribu bahasa. Mungkin ketiadaan kata-kata yang dapat melukiskan perasaan hatinya. Hanya air matanya yang deras mengalir setidaknya bisa mengungkapkan isi hatinya.....
Demikian mereka berpisah. Suami muda itu berangkat ke tempat hukumannya dan mulai menjalani tahun-tahun hukumannya dengan tabah. Tahun demi tahun ia lewati dengan pasrah dan selama itu ia tidak mengirim kabar berita apa pun kepada istrinya, supaya ia tidak mempengaruhi suasana batin istrinya kalau istrinya mau mengambil keputusan untuk menjalani hidupnya yang baru dengan pria lain.
Tahun-tahun terus berlalu......
Akhirnya tahun-tahun hukumannya berakhir. Ia kini bebas! Tetapi ke mana sekarang ia harus pergi? Pulang kepada istrinya? Barangkali dia sudah menikah dengan pria lain dan hidup berbahagia. Apakah ia mau mengganggu kebahagiaan istrinya? Sesudah lama berpikir, akhirnya ia menulis surat. Dalam surat itu, ia menulis bahwa kini ia sudah bebas. Tetapi ia merasa ragu apakah ia boleh pulang atau tidak. Semuanya itu tergantung pada keadaan, apakah istrinya sudah menikah lagi atau belum! Kalau istrinya sudah menikah lagi, tentu saja ia tidak perlu pulang. Tetapi kalau istrinya belum menikah lagi dan masih menunggu kepulangannya, tentu saja ia akan pulang.....
Dalam surat itu ia meminta supaya istrinya memberi suatu tanda untuknya. Di depan rumah meraka ada sebatang pohon oak yang cukup tinggi dan rindang. Ia meminta supaya istrinya mengikat sebuah sapu tangan kuning di salah satu cabang pohon oak itu kalau ia tetap tidak menikah dan tetap menanti kepulangannya. Tetapi kalau sudah menikah lagi, ia tidak perlu memberi tanda apa pun. Ia akan berjalan terus dan tidak akan mengganggu kebahagiaan istrinya.
Pada hari yang direncanakan, ia turun di pelabuhan dan menantikan remang senja untuk pergi secara diam-diam ke rumah, tempat dia pernah tinggal bersama istrinya. Ketika mendekati rumah itu, rasanya ia tak sanggup untuk menengok ke pohon oak itu. Apakah ada sehelai saputangan kunging terikat di salah satu cabang pohon oak itu? Apakah mungkin sama sekali tidak ada saputangan?
Ia mengumpulkan segala kekuatannya, mengangkat kepalanya dan menatap lurus-lurus ke pohon oak itu! Apa yang dilihatnya?
Ia hampir tidak percaya! Ia bukan hanya melihat selembar saputangan kuning, tetapi puluhan saputangan kuning yang terikat hampir pada setiap dahan pohon oak itu.
Pendalaman dan Refleksi
Komentar Cerita
Cerita tersebut menggambarkan betapa perkawinan adalah hal yang sangat penting untuk dijaga. Dalam hidup berkeluarga, rasa percaya satu sama lain sangat dibutuhkan untuk membangun keluarga yang harmonis.
Meskipun sang suami menginginkan kebahagiaan istrinya, tetapi tindakan yang ia lakukan merupakan tindakan yang salah. Seharusnya ia mempercayai istrinya bahwa istrinya tidak akan pergi meninggalkan dirinya dengan pria lain. Selain itu, kata-kata yang dicupakannya pada saat pernikahan, yaitu bahwa mereka akan setia sehidup semati dalam suka maupun duka merupakan komitmen dengan Allah yang harus senantiasa ditepati. Apa yang dipersatuakan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusia.
Tindakan sang istri yang tetap menunggu kepulangan suaminya merupakan tindakan yang terpuji. Sekarang ini, jarang ditemukan istri yang setia seperti itu apa lagi istri tersebut telah ditinggalkan oleh suaminya selama 15 tahun dan diberikan kesempatan apa bila ia ingin bersama dengan pria lain. Namun istri suami itu tetap setia menanti kepulangan suaminya dengan sabar dari kota seberang dan tetap memegang teguh janji yang telah diucapkannya di hadapan Allah. Hal inilah yang diperlukan dalam hidup berkeluarga, cinta, kesetiaan, kesabaran, saling pengertian dan kepercayaan.
E. Pengembangan Reliositas
Berikut ini disajikan bebrapa pandangan dari berbagai agama dan kepercayaan tentang persiapan hidup berkeluarga. Anda juga dapat membaca sumber- sumber lain yang sesuai dengan tema untuk memperluas wawasan dan pengetahuan anda.
Agama Hindu
Sistem perkawinan dalam agama Hindu adalah cara dan bentuk yang dibenarkan, yang dapat dilakukan oleh seseorang menurut hukum Hindu dalam melegalisir tata cara perkawinan sehingga baik formal mauoun material dapat dinyatakan sah sebagai suami istri. Untuk melangsungkan perkawinan ini harus dipenuhi ketentuan umur para pihak. Beberapa anjuran yang bersifat larangan, untuk menghindari perkawinan, antara lain:
a. Hubungan darah yang dekat.
b. Penyakit menular atau penyakit turunan yang dapat mengganggu kelangsungan hidup keluarga yang dibina.
c. Nama yang tidak baik, jelek atau nama- nama yang tidak patut.
d. Kondisi badan wanita yang dianggap tidak baik (cacat).
e. Wanita yang tidak mempunyai saudara (anak tunggal), dikuatirkan telah diangkat statusnya sebagai putri, sehingga harus dilakukan perkawinan sentana.
f. Telah bersuami.
Agama Islam
Agama Islam menuturkan 10 macam hikmat perkawinan, antara lain:
1. Ketenangan hati. Perkawinan dimaksudkan untuk ketenangan, kestabilan hidup, dan kegairahan menikmati rahmat Tuhan. Dengan ketenngan yang dimiliki oleh orang yang berumah tangga akan membuka jalan- jalan hidup yang diinginkan.
2. Kebahagiaan dan rahmat. Hanya orang kawin yang dapat merasakan kasih sayang dan kebahagiaan cinta. Biarpun orang memelihara seribu wanita cantik tapi tanpa kawin ia tidak akan merasa tenag dan tidak merasakan cinta dan kasih sayang sepenuhnya.
3. Memelihara keturunan. Perkawinan islam membersihkan keturunan, karena merupakan satu- satunya jalan terbaik untuk membersihkan keturunan dari segala noda. Selain itu, melalui perkawinan orang dapat menghasilkan keturunan. Perzinaan adalah sikap liar yang tidak bertanggung jawab.
4. Hubungan sosial. Perkawinan menghubungkan manusia yang satu dan lainnya. Islam menganjurkan perkawinan itu jangan terjadi antara keluarga yang jauh. Perkawinan memeperluas pergaulan hidup untuk membangun apa saja.
5. Tanggung jawab. Perkawinan menyebabkan orang bertanggung jawab atas segala pekerjaannya. Pergaulan tanpa perkawinan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, kerap kali menimbulkan kesusahan dan kesulitan.
6. Menghindarkan fitnah. Perkawinan menghindarkan fitnah, karena pergaulan tanpa perkawinan senantiasa menimbulkan fitnah. Di sini, fitnah lebih berbahaya daripada pembunuhan.
7. Penyaluran sahwat. Nafsu seks adalah milik pribadi yang amat vital. Tak seorangpun yang terlepas dari rangsangan seks. Perkawinan merupakan satu- satu nya jalan yang baik untuk menyalurkan nafsu sahwat.
8. Pakaian. Istri adalah laksana pakaian. Ia menghiasi hidup kita. Suami istri merasa bangga dengan pasangannya masing- masing. Mereka merasa bahagia sekali kalau berjalan seiring berdua, sebab kleduanya merasa memakai pakaian yang serasi dan indah. Istri merasa bangga dengan suaminya yang cakep dan simpatik, sebaliknya suami merasa bangga denagn istrinya yang cantik dan mempesona.
9. Keamanan masyarakat. Perkawinan menimbulkan keamanan masyarakat. Masing- masing orang telah mempunyai istri, sehingga tidak boleh bersikap liar dengan menganggu perempuan lain. Itulah sebabnya wanita tidak dibenarkan hidup bergelandangan siang dan malam semaunya. Sebaiknya wanita itu tetap saja di rumah.
10. Mempertinggi budi pekerti. Agama Islam menganjurkan agar perkawinan itu sejodoh, artinya cocok dalam berbagai bidang. Janganlah orang tertarik pada seorang wanita semata- mata karena kecantikannya. Yang penting adalah agama daan budi pekertinya.
Maksud dan dibentuknya rumah tangga menurut ajaran islam, ialah menciptakan kebahagiaan yang menyeluruh di dalam segala aspek hidup manusia.
(Tamar Djaja. Tuntutan Perkawinan & Rumah Tangga Islam, Bandung: PT. Al ma’arif, hlm. 15-21,61)
Perkawinan, sebagai perbuatan yang dilindungin agama, merupakan perpaduan jiwa raga dan cita rasa yang didasari kemurnian hasrat dan niat secara suka sama suka.
(Drs. H. Zahri Hamid. 1986. Peminangan menurut hukum Islam. Penerbit Bina Cipta, hlm.3)
Agama Kristen
Dalam mempersiapkan diri untuk hidup berkeluarga, perlu dipahami beberapa prinsip dasar perkawinan yang diajarkan Tuhan Yesus Kristus dalam Matius 19:3-6, yaitu:
1. Menghayati perkawinan dalam kesadaran diri sebagai ciptaan Allah ynag terhormat, sehingga perkawinan didalam dalam pengkudusan dan penghormatan. ( bdk. I Tesalonika 4:3-6);
2. Menghayati perkawinan dalam kemandirian mnental maupun material:
3. Menghayati perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan secara utuh. ( I Korintus 7:3-4)
Agama Buddha
Hubungan antar suami istri dalam kehidupan berumah tangga menekankan pentingnya hubungan timbal balik, saling mengisi pada tugas dan tanggung jawab di aantara mereka berdua.
(Timekayana. 1999. Wanita dan Buddha Dharma. Bandung, hlm. 9)
Agama Konghucu
Pekawinan adalah ikatan lahir btin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan melaangsungkan keturunan berdasarkan keTuhanan Yang Maha esa. Tujuan perkawinan adalah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih- benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa), berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putra- putrinya.
Perkawinan dalam agama Konghucu tidak bermaksud memisahkan seseorang dari ayah bunda dan keluarga karena telah membangun mahligai baru, tetapi mnyatukan keluarga yang satu dengan lainnya, memupuk rasa persaudaraan tyang luas.
Syarat- syarat perkawinan bagi umat Konghucu:
1. Umur untuk wanita 16 tahun, sedangkan umur untuk pria 19 tahun, atau dengan pertimbangan lain.
2. Ada pesrsetujuan dari kedua mempelai tanpa ada unsur paksaan.
3. Kedua calon mempelai tidak atau belum terkait dengan pihak- pihak lain yang dianggap sebagai hidup berumah tangga atau berkeluarga.
4. Kedua calon mempelai wajib melaksanakan pengakuan iman. Peneguhannya dilaksanakan di tempat ibadah umat Konghucu ( Lithang).
5. Mendapat persetujuan dari kedua orang tua, baik orang tua pihak laki- laki maupun pihak perempuan atau walinya.
6. Disaksikan oleh dua orang saksi.
Upacara perkawinan adalah pangkal peradaban zaman, dimaksudkan memadukan benih- benih kebaikan dua jenis manusia yang berlainan, untuk melanjutkan jaran- ajaran para suci dan para nabi. Ke atas untuk memuliakan Thian, tuhan Yang maha esa, mnengabdi diri pad leluhur, dan ke bawah untuk meneruskan keturunan.
(M. Ikhsan Tanggok, 2000. Jalan Keselamatan melalui Agama Konghucu. Jakarta: PT Gramedia Pusta Utama, hlm. 110-113).
Agama Katholik
Perkawinan merupakan persatuan anatara seorang pria dengan seorang wanita, yangn diberkati oleh Allah dan diberi tugas untuk meneruskan generasi manusia dan memelihara dunia. Perkawinan merupakan persatuan anatara seorang pria dengan seorang wanita, atas dorongan Allah sendiri., yang mendorong manusia mampu dan mau meninggalkan ayah- ibunya serta hidup bersatu dengan pasangannya sedemikian erat sehingga keduanya menjadi satu manusia baru. Dengan demikian, hakikat perkawinan merupakan kesatuan erat antara seorang pria dan wanita yang sudah ditentukan oleh Allah sendiri., berdasarkan cinta kasih dan ketulusan hati, yang diawali dengan suatu peresmian hukum yang berlaku serta perayaan yang melibatkan seluruh keluarga.
( Dr. Al. Putra Hadiwardoyo, MSF.1991. Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 13-16)
Allah sendiri telah memberkati dan mempersatukaan hidup dan cinta suami istri dalam suatu perkawinan. Perkawinan terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang bersama- sama membangun hidup, dan kodratnya terarah pada kesejahteraan suami istri, kelahiran dan pendidikan anak. Cinta kasih suami istri diharapkan berkembang dan tidak mandeg,, karena pengembangan tugas luhur yang akan dicapai dalam suatu perkawinan. Perkawinan itu sendiri memeiliki tujuan, yakni: saling menolong, saling mencinta, saling mengembangkan kesatuan suami istri sebagaimana hubungan Kristus dengan Gereja-Nya; terarah pada keturunan dan pendidikan anak; suami istri dijadikan rekan kerja Allah dalam penciptaan; pemenuhan kebutuhan seks, karena ungkapan cinta suami istri yang paling dalam dan mesra terjadi melalui hubungan seks, agar orang tidak tergoda untuk berbuat zina.
Perkawinan gereja dikatakan sah apabila: ada kesepakatan (perjanjian) untuk saling menyerahkan; mampu menurrut hukum (tidak memiliki halangan untuk perkawinan); dinyatakan dengan sah dalam suatu tata cara perkawinan. Perkawinan yang terjadi antara dua orang yang dibabtis, diangkat menjadi sakramen.
(Fx. Wibowo Ardi, Bina Iman- Sakramen, Sakramen Perkawinan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius)
Perkawinan merupakan suatu persoalan yang penting di mana menyangkut suatu panggilan atau karier pokok dalam hidup manusia. Maka dari itu diperlukan suatu persiapan yang sungguh-sungguh sebelum memasukinya. Pacaran dan pertunangan hendaknya dilihat sebagai masa persiapan jangka dekat, yang bukan saja digunakan untuk memadu cinta, tetapi juga untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk memasuki jenjang perkawinan.
1. Menyadari Perkawinan dan Hidup Keluarga sebagai Karier
Perkawinan merupakan suatu karier. Bahkan karier pokok. Oleh sebab itu kita perlu mempersiapkannya dengan kesungguhan. Tragedi jaman kita dadalah kurang sadar bahwa perkawinan merupakan suatu karier. Orang menghargai karier ahli hukum, ahli pendidikan, dokter, penyanyi, namun kita lalai menempatkan perkawinan sebagai suatu karier yang top.
Melukis adala suatu karier. Tetapi daptkah kita mengadaakan perbandingan antara lukisan hasil seorang seniman dengan seornag bayi mungil yang “diciptakan” oleh ibu dan bapaknya? Mengadakan anak adalah suatu karier.
Guru adalh suatu karier yang luhur. Namun pendidik yang paling berpengaruh terhadap abak ialah bapak dan ibunya sendiri.
Merawat adalah suatu karier pula. Namun tangan seornag ibu yang sederhana kadang kala memiliki keterampilan yang luar biasa terpendam, sehingga sanggup merawat, menyembuhkan serta menguatkan kembali tubuh yang lemah, sekalipun sebelumnya para perawat profersional dan para dokter sudah menyerah kalah.
Menghibur orang di TV, di atas panggung, merupakan suatu karier. Maka menciptakan suasana gembira dan bahagia dalam rumah tangga merupakan suatu karier pula.
Ahli diplomasi adalah karier terhormat. Menjalin hubungan yang mesra antara suami istri untuk puluhan tahun membutuhkan keuletan dan seni diplomasi yang lebih tinggi.
Perkawinan sebagai suatu karier tak dapat disamakan dengan semua kaarier lain. Sebab ia membutuhkan perpaduan aneka ragam kebajikan dan sifat khas dari bermacam- macam karier khusus.
Perkawinan menuntut kesabaran seoarng guru, keahlian seorang psikolog, kegesitan diplomasi seornag negarwan, rasa adil seorang hakim, seni humor seorang pelawak, semangat berkorban seorang dokter, keramahtamhan seorang pramugari, belas kasihan seorang pengampun, dsb.
Perkawinan sungguh merupakan suatu karier yang terpenting. Selain dibutuhkan kesungguhan berusaha, ketekunan dan niat yang kuat untuk berhasil, sebelumnya dibutuhkan persiapan yang matang. Tanpa persiapan, semuanya bisa berantakan.
2. Hal- Hal Pokok yang Perlu Dipersiapkan
1. Persiapan diri
Persiapan ini lebih merupakan persiapan- persiapan yang menyangkut diri si calon bapak dan calon ibu.
Misalnya:
a. Melengkapi diri dengan kebajikan keibuan atau kebapakan.
Untuk seorang pria: apakah ia sudah memiliki “kebajikan kebapaan” seperti sifat bertanggung jawab, tabah, tekun, penuh pengertian, dan sebagainya.
Untuk seorang putri: apakah ia sudah memiliki “kebajikan keibuan” seperti ramah tamah, sabar, tabah, teliti, penyanyang, dan sebagainya.
b. Pengenalaan yang baik tentang diri dan latar belakang calon suami/istri.
Bagaimana latar belakang keluarga calon suami atau calon istri? Adat istiadatnya? Agamanya? Pendidikannya? Umur? Kesehatan? Status sosial? Yang teraakhir dan terpenting: apakah ia memiliki cinta yang sejati? Cinta yang total, permanen, personil terhadap calon suami/istri.
c. Pengetahuan dan kesadaran mengenai perkawinan.
Apakah sudah diketahui dan disadari tentang arti, tujuan dan halangan untuk perkawinan?
Apakah sudah menyadari tentang masalah pendidikan, kesehatan keluarga, dan lain-lain?
Apa tuntutan dari pihak negara dan Gereja?
2. Persiapan sarana
a. Memiliki suatu pekerjaan atau keterampilan untuk bisa menghidupi keluarga.
b. Memiliki sarana material lainnya, seperti rumah, peralatan rumah tangga, modal uang, dan lain-lain.
3. Memilih Pasangan yang Benar dan Baik
Perkawinan adalah suatu karier pokok yang harus dijalani dengan pasangan hidup. Maka itu, sangatlah penting untuk memilih pasangan hidup yang benar dan baik.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memilih pasangan sejati :
o Kita hendaknya memilih pasangan hidup yang sungguh mencintai kita dan yang kita cintai, dengan cinta yang sungguh pribadi. Menerima pasangan apa adanya, dengan segala keunggulan dan kekuranggannya. Elakkan menerima pasangan karena terpaksa.
o Sifat dan karakter dari pasangan kiranya perlu diperhatikan. Selain baik, alangkah baiknya kalau bersifat komplementer, bisa saling melengkapi dan mengisi.
o Kesehatan jasmani dan jiwani terjamin.
o Usia yang agak sepadan.
o Pendidikan yang tidak terlalu berbeda jauh.
o Sebisa mungkin berkeyakinan dan iman yang sama.
Syarat-syarat di atas tidak bersifat sangat mutlak, pengecualian-pengecualian dapat saja terjadi.
4. Hal-Hal Lain yang Perlu Dipertimbangkan
o Sebaiknya, salah satu dari pasangan atau kedua-duanya sudah memiliki pekerjaan yang dapat menjadi jaminan untuk memperoleh rejeki. Tidaklah bijaksana jika calon pasangan suami istri itu melangsungkan pernikahan jika keduanya masih menganggur.
o Sebaiknya, pasangan yang akan menikah sudah memiliki rumah, walaupun rumah kontrakan daripada masih harus tinggal dengan mertua/orang tua.
o Sebaiknya, calon pasangan memiliki tabungan yang cukup untuk memulai hidup sebagai keluarga.
5. Memahami Hukum Sipil dan Hukum Gereja tentang Perkawinan
a. Ketentuan Hukum Sipil
Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Selain itu, peristiwa perkawinan tersebut harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Selanjutnya, juga disebutkan tentang halangan-halangan untuk melangsungkan perkawinan, misalnya masalah hubungan darah (keluarga), dan umur (pria 19 tahun dan wanita 16 tahun).
b. Ketentuan Hukum Gereja
Perkawinan menjadi sah kalau calon suami istri itu memberikan persetujuan mereka untuk hidup bersama sebagai suami istri di hadapan seorang imam dan dua orang saksi. Selanjutnya, dari pasangan itu dituntut banyak syarat supaya perkawinan mereka sungguh sah, misalnya :
o Persetujuan itu diberikan secara bebas dan ikhlas.
o Pria paling kurang berumur 16 tahun dan wanita 14 tahun.
o Tidak menderita impotensi.
o Salah satu dari pasangan itu atau kedua-duanya tidak terikat oleh perkawinan dengan orang lain atau tahbisan dan kaul yang publik dan kekal
o Keduanya tidak mempunyai hubungan darah dalam garis lurus.
o Tidak terlibat pembunuhan suami atau istri lama untuk perkawinan yang baru.
6. Hukum yang melindungi perkawinan
Karena perkawinan diadakan oleh Allah, maka dalam perkawinan ada hukum-hukum ilahi seperti misalnya tidak boleh melakukan perceraian dan kesatuan perkawinan.
Karena perkawinan dijadikan sakramen oleh Yesus sendiri, maka ada hukum-hukum Gereja yang melindungi perkawinan. Misalnya, hukum Gerejalah yang menetapkan umur yang sah untuk dapat menerima perkawinan secara sah, menentukan peraturan-peraturan perkawinan beda agama, dan lain sebagainya.
Karena perkawinan adalah dasar dari masyarakat manusia, maka negara menciptakan hukum-hukum yang mengatur perkawinan. Temasuk hukum semacam ini adalah ketentuan yang menuntut adanya izin untuk kawin, tes darah, umur yang sah menurut hukum untuk melakukan perkawinan, dan lain-lain.
7. Persiapan Perkawinan
Gereja Katolik menghendaki perkawinan itu kekal adanya. Hanya maut (kematian) yang dapat memisahkan. Maka, kursus persiapan pernikahan diperlukan.
Perkawinan Katolik, seperti yang dinasihatkan oleh Konsili Vatikan II (Martabat Perkawinan dan Keluarga), persatuan mesra sebagai salingrah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami istri yang sepenuhnya dan menjadika tak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu. Kursus Persiapan Perkawinan (KPP), yang kini telah marak diselenggarakan di keuskupan-keuskupan di Indonesia, mungkin saja dimaksudkan untuk mengantisipasi hal tersebut. Diharapkan, dengan menjalani KPP, para calon pengantin ini, kelak jika sudah naik ke pelaminan, telah memperoleh bekal untuk menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera sesui cita-cita Gereja Katolik.
Maka, KPP merupakan peristiwa yang cukup penting bagi calon pengantin untuk mengikutinya. Materi-materi yang diberikan dalam kursus merupakan bekal yang berharga. Namun, agak disayangkan, KPP yang diselenggarakan, paling kurang yang terjadi di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), dianggap hanya sebagai formalitas saja. Dari sisi pembimbing kursus, belum tampak adanya standarisasi. Penyelenggaraan kursus ada yang di tingkat dekanat, ada yang di tingkat paroki. Ada instruktur yang memang berbobot, ada juga yang hanya ala kadarnya.
Membenahi Metodologi
KPP biasanya diselenggarakan dalam waktu tiga hari (Jumat, Sabtu dan Minggu) atau sekitar 8 sampai 10 jam. Materi pokok dalam KPP adalah Perkawinan Katolik menurut Hukum, Hakikat, dan Moral Katolik, Ekonomi Rumah Tangga, Psikologi Pria dan Wanita, Komunikasi Suami-istri, Pembinaan Iman Anak dalam Keluarga, Kesehatan reproduksi, dan KBA. Peserta yang mengikutinya sekitar 20-30 pasang atau sekitar 60 peserta. Beberapa di antaranya ada yang mengikuti kursus tanpa pasangannya. Melihat waktu yang tersedia, materi pokok yang diberikan, dan jumlah peserta, tampaknya sudah mencukupi untuk memperoleh bekal yang berharga. Akan tetapi, akan menjadi sia-sia, jika cara pengajaran yang seperti sekarang tetap dipertahankan. Pihak penyelenggara hendaknya melakukan terobosan-terobosan baru, misalnya membenahi metodologi KPP. Bentuk monolog hendaknya diubah menjadi dialog. Metode kursus yang selama ini sering berlangsung secara klasikal, hendaknya diganti dengan semacam semi seminar atau lokakarya.
Bagi Sudiarto dan Puspa Ratna, terlepas kelemahan-kelemahan yang ada dalam penyelenggaraan, KPP itu sendiri merupakan hal yang penting. Menurut Puspa, KPP juga bisa difungsikan untuk menjelaskan tentang hakikat Perkawinan Katolik. Hali ini sangat bermanfaat bagi mereka yang akan melakukan perkawinan lintas agama. Puspa, yang suaminya seorang Muslim, merasa sangat terbantu untuk menjelaskan kepada pasangannya tentang Perkawinan Katolik.
Idealnya memang, sebelum menikah secara Katolik, calon pengantin sebaiknya mengikuti KPP. Hanya, bagi penyelenggara kursus diminta untuk membenahi cara penyampaiannya. Agar KPP tidak dipandang sebagai formalitas belaka bagi calon pengantin.
Kursus-Kursus Persiapan Perkawinan
o Meskipun telah melakukan perkawinan selama bertahun-tahun, pasangan suami istri dapat mengambil banyak manfaat deari ME (Marriage Encounter) atau Konperensi Kana. Di beberapa tempat, program-program itu dilaksanakan sercara teratur di berbagai paroki di seluruh keuskupan. Program-program tadi merupakan suatu sarana yang bagus untuk mengembangkan rahmat yang ada dalam pasangan suami istri, agar persatuan mereka dapat menjadi lebih sempurna.
o Orang-orang Katolik harus kawin menurut salah satu cara berikut ini agar perkawinannya sungguh-sungguh sah dan bersifat sakramental. Mereka harus kawin di hadapan seorang imam atau diakon dan dihadapan dua orang saksi lainnya. Jika seorang Uskup Diosesan memberikan suatu dispensasi dari Forma Kanonika, seperti halnya dalam perkawinan beda Gereja (Katolik dan Kristen), perkawinan tadi dapat dilangsungkan di muka pemuka agama yang bukan Katolik, seperti misalnya Pendeta. Orang-orang Katolik yang tidak kawin dengan cara demikian ini tidak dianggap menerima Sakramen Perkawinan.
o Gereja telah menetapkan beberapa halangan untuk melakukan perkawinan, yaitu keadaan-keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak legal dan tidak sah. Misalnya, Gereja melarang seorang Katolik menikah dengan seorang yang tidak Katolik. Bila ada cukup alasan untuk melakukan hal semacam ini, maka seorang Uskup Diosesan bisa memberikan dispensasi dari halangan semacam ini, asalkan halangan itu tidak mempengaruhi hakikat perkawinan.
o Pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan hendaknya berkonsultasi dengan pastor paroki pihak calon mempelai perempuan beberapa bulan sebelum perkawinan. Dua orang yang Katolik sebaiknya menikah dalam upacara Misa. Hanya berdasarkan alasan yang berat, maka pasangan suami istri bisa tidak menggunakan keistimewaan besar untuk bisa menikah dalam Misa. Dalam Misa perkawinan mereka, pasangan suami istri yang baru dapat mempersembahkan roti, anggur, dan air kepada imam. Dengan demikan perbuatan mereka yang pertama sebagai suami istri ialah melakukan persembahan kepada Allah, partner perjanjian mereka. Pasangan suami istri boleh melakukan teks-teks Kitab Suci dan hal-hal khusus lainnya untuk misa perkawinan mereka.
o Para pejabat gerejawi dari Gereja bukan Katolik, yang hadir dalam perkawinan beda gereja, boleh memanjatkan doa, bila perkawinan dilangsungkan dalam gereja Katolik. Seorang imam dapat melakukan hal yang sama bila telah diberikan suatu dispensasi bahwa perkawinan itu terjadi di suatu gereja bukan Katolik.
o Bila suatu pasangan suami istri, karena masalah yang berat dan tak terpecahkan tidak dapat melanjutkan hidup bersama, maka suatu perpisahan dan bahkan perceraian sipil mungkin bisa berlangsung. Sesudah perceraian sipil diberikan, pasangan itu dapat menyelidiki kemungkinan untuk mendapatkan pembatalan perkawinan dengan seorang imam atau seorang wakil dari Pengadilan Gerejani untuk urusan Perkawinan. Jika tidak ada alasan-alasan untuk mengadakan pembatalan, maka kedua belah pihak tidak boleh menikah lagi.
o Gereja mendorong orang-orang yang cerai dan kawin lagi tanpa mendapatkan pembatalan perkawinan, untuk tetap ambil bagian dalam kehidupan paroki. “Mereka tidak terpisahkan dari Gereja, tetapi mereka tidak dapat menerima Komuni”-Katekismus Gereja Katolik no. 1665.
Mempersiapkan Perkawinan Katolik
Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara pria dan wanita. Dengannya suami istri dapat saling membahagiakan dan menyejahterakan. Persekutuan tersebut pada umunya mendapat perlindungan dan penghargaan dari negara maupun masyarakat. Dan dari persekutuan itu pula dapat muncul keturunan yang juga dilindungi dan dihargai oleh negara serta masyarakat.
Bahkan sekurang-kurangnya dalam pandangan Katolik, persekutuan suami istri itu juga merupakan lambang dati suatu persekutuan lain, yakni persekutuan antara Kristus dan umat-Nya. Memang, lambang tersebut tidak selalu cocok dengan yang dilambangkannya. Dan itu dapat dipahami, sebab lambangnya bersifat manusiawi, penuh dengan kekurangan dan keterbatasan. Padahal yang dilambangkan bersifat ilahi, jadi bersifat sempurna dan tak sepenuhnya terselami.
Mengingat dua hal di atas, kiranya kita semua setuju, bahwa perkawinan haruslah disiapkan dengan baik dan dihayati dengan tepat, agar benar-benar menjadi persekutuan yang membahagiakan dan menjadi lambang yang cocok dengan yang dilambangkannya.
Persiapan sejak kecil
Persiapan paling awal menuju perkawinan terlaksana sejak masa kecil. Sesuai prinsip-prinsip yang disimpulkan para psikolog perkembangan, kepribadian seorang suami atau istri mempunyai awal dan dasar pada masa kecilnya. Walaupun pengalaman hidup pada masa remaja dan muda-mudi ikut menentukan kepribadian, hampir semua psikolog perkembangan sepakat, masa kecil mempunyai peranan yang sangat menentukan kepribadian.
Kepada seorang anak, hal yang perlu diberikan sejak ia lahir adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis. Ia butuh makan, minum, istirahat, papan yang bersih dan nyaman, pelukan dan senyuman, sentuhan dan sikap-sikap menentramkan. Masih menurut para psikolog, kekurangan yang parah dalam pemenuhan kebutuhan dasariah pada masa kecil ini mempunyai akibat yang cukup fatal dan sulit dikoreksi di kemudian hari. Anak-anak yang kekurangan pangan dan cinta kasih pada masa kecil akan sulit berkembang dengan baik, sehingga kelak juga kurang mampu menjadi seorang suami atau istri yang baik bagi pasangannya.
Hal kedua yang kemudian juga perlu diberikan kepada seorang anak balita adalah lingkungan sosial yang sehat dan wajar. Tidak cukup hanya dapat berkomunikasi dengan orang tuanya. Saat tertentu ia juga butuh berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya. Ia harus diberi waktu yang cukup untuk bermain dengan anak-anak sebayanya. Ia juga perlu diberi alat-alat permainan yang dapat digunakan sendirian.
Masih mengenai komunikasi anak tidak akan mampu dengan usahanya sendiri. Ia harus dibantu mengembangkan bakat berbahasa, terutama oleh orang-orang di rumah, orang tuanya sendiri. Bahasa ibu penting dalam seluruh hidup seseorang. Bahasa ibu akan dipakainya untuk landasan berpikir. Waktu mempelajari bahasa lain, ia menggunakan bahasa ibunya sebagai bahan pembanding utama.
Kemampuan hidup sosial dan berkomunikasi ini sebaiknya terus dikembangkan dengan mengirim anak-anak ke sekolah, baik di TK maupun SD, agar bergaul dan berkomunikasi dengan teman-teman baru. Di situ mereka belajar bersikap hormat terhadap para guru dan karyawan sekolah. Bahkan juga belajar bersaing secara fair pada beberapa bidang.
Persiapan sejak remaja
Pada akhir pendidikan SD, atau awal SLTP anak-anak bertumbuh cukup cepat dan memasuki masa baru, yakni masa remaja, dalam bahasa latin disebut pubertas. Masa ini merupakan masa yang pernting dalam persiapanmenuju perkawinan.
Segi pertama pertumbuhan masa ini adalah fisik. Remaja putri meng alami perubahan-perubahan besar, yang sangat mungkin menggoncangkan jiwanya bila tidak didampingi. Ia mungkin merasa kaget mengalami menstruasi pertama karena mengira akibat dari penyakit. Ia mungkin merasa risih dan malu-malu ketika dadanya mulai membesar. Ia perlu didampingi, agar memahami makna perubahan tersebut secara positif. Hal yang sama berlaku untuk remaja putra. Ia mungkin kaget melihat rambut tumbuh di beberapa bagian tubuhnya dan merasa canggung ketika suaranya berubah.
Segi kedua dari perubahan ini adalah psikis. Seorang remaja mulai merasa rangsangan seksual dan mengalami rasa tertarik kepada jenis kelamin lain. Tetapi hatinya gelisah karena merasa kurang pantas, atau bahkan dianggap jahat di mata Tuhan. Maka ia perlu didampingi dan dibantu untuk memahami hal itu sebagai persiapan dari Tuhan sendiri, agar ia kelak mampu mengasihi seorang suami atau istri selama hidupnya.
Ketiga adalah segi sosial. Sesuai pertumbuhan pada segi pertama dan kedua, seorang remaja merasa butuh berkelompok dengan teman-teman sebayanya. Ia merasa kurang enak bergaul dengan anak-anak, tetapi juga merasa canggung bergaul dengan muda-mudi, apalagi orang dewasa. Bersama dengan teman-teman sebayanya, ia merasa lebih mampu memilih pakaian dan aksesori lain yang cocok baginya. Bersama mereka pula ia merasa lebih bebas membagi perasaan mengenai lawan jenis atau idolanya.
Seorang remaja belum mampu mengatasi pergolakan jiwanya. Ia belum memahami dengan baik makna perubahan-perubahan yang ada di dalam dirinya. Keadaan ini merupakan landasan bagi orang tua untuk tetap mengikatnya di dalam lingkungan keluarga dalam arti yang positif.
Bantuan positif itu terutama harus diarahkan pada pemahaman dan penghayatan masa remaja sebagai masa persiapan perkawinan yang berasal dari Tuhan sendiri. Pada masa inilah Tuhan mempersiapkan badannya agar kelak siap menjadi suami atau istri yang sehat dan wajar. Pada masa inilah Tuhan mengembangkan rasa tertarik rangsangan seksual yang kelak berguna dalam hidup sebagai suami atau istri.
Persiapan sejak usia 15 tahun
Pada usia 15-20, sebagai pemuda atau pemudi sudah lebih memahami adanya perubahan pada tubuh dan kejiwaannya. Seorang pemuda sudah tahu, rasa tertarik kepada lawan jenis itu wajar dan biasa. Sedangkan seorang pemudi sudah tahu, menstruasi itu alamiah dan sehat. Hal yang justru perlu ditumbuhkan adalah kesadaran akan perlunya persiapan yang baik untuk merintis pekerjaan atau profesi, yang kelak dapat dipakai untuk mencukupi nafkah dan memuaskan dahaga batiniahnya. Suami bukanlah semata-mata seorang yang mengasihi dan dikasihi istri, melainkan juga seorang dewasa yang selayaknya mampu mencari nafkah, sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri. Dalam perspektif kesetaraan gender, pencarian nafkah keluarga bukanlah merupakan hak dan kewajiban suami saja. Semua hal yang terkait dengan hidup berkeluarga merupakan tanggung jawab bersama suami dan istri.
Sebagian dari anak muda sudah mulai berpacaran. Rasa tertarik terhadap jenis kelamin lain mendorong sebagian dari mereka berteman secara khusus dan dekat dengan pacar. Ada yang berjalan lancar dan tahan lama. Ada pula yang tidak lancar dan cepat putus. Bahkan, ada juga yang secara sengaja punya beberapa pacar sekaligus.
Orang tua perlu bersikap bijaksana. Sebaiknya dihindari kedua sikap ekstrem. Ekstrem yang satu bersifat keras, serba melarang. Sedang ekstrem yang lain bersifat liberal, serba membolehkan. Sikap yang benar dan tepat ada di tengah kedua ekstrem ini. Pacaran jangan dilarang, apalagi bila sudah terjadi. Lebih berguna dan lebih baik bila orang tua membantu anaknya berpacaran dengan baik dan benar, baik dari segi moral maupun sosial.
Pada segi moral, penting diingatkan kepada anak-anak yang sedang berpacaran, bahwa “roh itu kuat, tetapi daging lemah”. Manusia itu bukan malaikat. Sebagian besar muda-mudi bukanlah calon santo dan santa. Maka, harus disadarkan bahwa mereka berdua harus bersepakat; kemesraan mereka adalah kemesraan terbatas. Harus dijauhi bentuk kemesraan yang dapat menjerumuskan ke hubungan seksual pranikah. Sebab, dilihat dari segi manapun, hal itu tidak pernah menguntungkan pihak mana pun juga.
Persiapan Terakhir
Persiapan terakhir adalah menjelang pernikahan mencakup berbagai hal, dari yang mendasar sampai yang lebih teknis dan praktis. Pertama adalah pendekatan dua keluarga dari dua muda-mudi yang sudah mantap hubungannya.
Kedua, sekitar 6-12 bulan sebelum nikah sebaiknya sudah cukup jelas bagi semua pihak, bagaimana kedua mempelai nanti mencukupi nafkah. Tidak baik dan dapat merugikan semua pihak bila setelah pernikahan, kedua mempelai tetap tergantung kepada kedua orang tuanya.
Ketiga, paling lambat 2 bulan sebelum pernikahan, sudah harus jelas di mana, bagaimana pernikahan akan dilaksanakan, dan siapa pastor yang akan memberkati. Sebaiknya jelas juga teks yang akan dipakai dalam liturgi. Sedangkan menyangkut segi sosial, bagaimana dan di mana resepsi perkawinan akan diselenggarakan, serta siapa saja yang akan diundang.
Perlu diingat dari segi yuridis, Gereja berhak dan bertugas mengadakan penyelidikan. Tujuannya untuk mejamin perkawinan itu benar-benar sah menurut Gereja dan negara, serta berhasil membuahkan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Demi keberhasilan peyelidikan, hal itu dilaksanakan secara pribadi oleh pastor melalui penyelidikan “kanonik” dan secara massal oleh umat paroki melalui tanggapan atas pengumuman nikah di gereja.
Idelanya, pernikahan sesama orang Katolik dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi. Walaupun demikian, kebanyakan imam paroki tidak bersedia pada hari Minggu, karena harus merayakan beberapa kali Misa. Sebagai ungkapan tenggang rasa, pernikahan berbeda Gereja sebaiknya pastor dan pendeta diberi dan mengambil peran seimbang dan semartabat. Atas pertimbangan yang sama, pernikahan beda agama sebaiknya dilaksanakan tanpa ibadat Sabda, atau dalam ibadat yang bacaan-bacaan alkitabiahya lebih bersifat “inter-religius”. Tidaklah bijaksana menjadikan upacara pernikahan itu untuk mengkatolikkan atau mengkristenkan orang-orang yang sudah beragaman lain. Akhirnya, baiklah kalau kita mengingat kembali sabda Tuhan, “Ia yang telah memulai karya baik-Nya, Ia pula yang akan menyelesaikannya”.
8. Perkawinan sebagai Sakramen
Persekutuan hisup dan kasih mesra suami istri, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi. Ikatan suci demi kesejahteraan suami istri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta Perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan. Itu semua penting sekali bagi kelangsungan umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga, bagi masyarakat, kelestarian, damai dan kesejahteraan lekuarga sendiri maupun seluruh masyarakat manusia. Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cinta kasih suami istri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya. Maka dari itu, pria dan wanita, yang karena janji perkawinan “bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6), saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antar pribadi dan kerja sama, mereka mengalami dan dari hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan mereka. Persatuan mesra itu, sebagai saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami-istri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu.
Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta kasih yang beraneka ragam itu, yang berasal dari sumber ilahi cinta kasih, dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab, seperti dulu Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan mempelai Gereja, melalui sakramen perkawinan menyambut suami-istri Kristiani. Selanjutnya, Ia tinggal beserta mereka, supaya seperti Ia sendiri mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri untuknya, begitu pula suami istri dengan saling menyerahkan diri, saling mengasihi dengan kesetiaan yang tak kunjung henti. Kasih sejati suami istri ditampung dalam cinta ilahi, dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami istri secara nyata diantar menuju Allah, lagi pula dibantu dan diteguhkan dalam tugas mereka yang luhur sebagai ayah dan ibu. Oleh karena itu suami istri kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas. Berkat kekuatannyalah mereka menunaikan tugas mereka sebagai suami-istri dalam keluarga; mereka dijiwai semangat Kristus, yang meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan dan cinta kasih mereka makin mendekati kesempurnaan mereka dan makin saling menguduskan, dan dengan demikian bersama-sama makin memuliakan Allah.
Maka dari itu, mengikuti teladan orang tua dan berkat doa keluarga, anak-anak, bahkan semua yang hidup di lingkungan keluarga, akan lebih mudah menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan dan kesucian. Suami istri yang mengemban martabat serta tugas kebapaan dan keibuan, akan melaksanakan dengan tekun kewajiban memberi pendidikan terutama di bidang keagamaan, yang memang pertama-tama termasuk tugas mereka.
Anak-anak, selaku anggota keluarga yang hidup dengan cara mereka sendiri, ikut serta menguduskan orang tua mereka. Sebab, mereka akan membalas budi kepada orang tua dengan rasa syukur dan terima kasih, cinta mesra, serta kepercayaan mereka, dan seperti layaknya bagi anak-anak, mereka akan membantu orang tua di saat-saat kesukaran dan dalam kesunyian usia lanjut. Status janda, yang sebagai kelangsungan panggilan berkeluaga ditanggung dengan keteguhan hati, hendaknya dihormati oleh semua orang. Hendaknya keluarga dengan kebesaran jiwa berbgai kekayaan rohani juga dengan keluarga-keluarga lain. Maka dari itu keluarga kristiani, karena berasal dari pernikahan yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dengan Gereja, akan menampakkan kepada semua orang kehadiran Sang Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan hakikat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih suami istri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya.
“Familiaris Consortio” mengungkapkan bahwa perkawinan antara dua orang terbaptis meruapkan simbol nyata dari perjanjian baru dan kekal antara Kristus dan Gereja, merupakan sakramen, peristiwa keselamatan. Cinta mereka berciri menyatukan jiwa badan, tak terceraikan, setia, dan terbuka bagi keturunan.
Ajaran Tuhan mengenai Sakramen Perkawinan
“Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya, “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka, “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka, “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu Yesus berkata kepada mereka, “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka, “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah”-Mrk 10:2-12.
Yesus mengajarkan :
a. Bahwa perkawinan diadakan oleh Allah.
b. Suami dan istri mendapatkan pemenuhan mereka pada pasangan mereka masing-masing.
c. Perkawinan harus berlangsung seumur hidup.
d. Perkawinan terjadi antara seorang pria dan seorang wanita.
Rahmat-rahmat yang terdapat dalam perkawinan
o Rahmat untuk berdialog atau berkomunikasi, yang memungkinkan pasangan suami istri saling mengenal dan saling mengungkapkan perasaan mereka.
o Rahmat persatuan, untuk membantu pasangan suami istri memecahkan masalah-masalah yang dapat memecah belah mereka.
o Rahmat untuk menyembuhkan luka-luka yang disebabkan oleh perbuatan egois, tanpa cinta kasih, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh pasangan suami istri.
o Rahmat untuk menjadi orang tua, yang membantu mereka dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka.
o Rahmat pengudusan, untuk membantu suami istri perjuangan mereka menyingkirkan semua kejahatan dan dosa dari rumah mereka dan menumbuhkan kebiasaan serta tingkah laku yang baik.
F. Evaluasi
1. Menurut Anda, apa itu hidup berkeluarga? Jelaskan!
2. Mengapa hidup berkeluarga berharga dalam kehidupan manusia? Jelaskan!
3. Menurut pengamatan Anda, tantangan dan kesulitan apa yang dihadapi orang yang hidup berkeluarga? Sebutkan!
4. Jelaskan syarat-syarat hukum untuk sahnya hidup berkeluarga!
5. Sebutkan hal-hal yang perlu disiapkan dalam membangun hidup berkeluarga!
6. Bagaimana penilaian atau tanggapan Anda tentang wawancara kepada pasangan suami istri atau studi pustaka mengenai persiapan hidup berkeluarga?
DAFTAR PUSTAKA
- Suroyo, Al.,dkk. 2006. Mewujudkan Hidup Beriman dalam Masyarakat dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius.
- Lalu, Rama Yosef. 1985. Yesus Teladanku III. Jakarta: Obor.
- Weber, P. Gerard. 1998. Hidup dalam Kristus. Jakarta: Obor
- James A. Griffin, Bishop. 1996. Ringkasan katakismos Katolik yang Baru. Jakarta: Obor
- Pendidikan Agama Katolik 3B. Jakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar